Saturday, April 19, 2014

Sistemik Fungsional Linguistik


           Konsep sistemik fungsional linguistik pertama kali diperkenalkan oleh MAK Halliday. Di dalam pandangan SFL, bahasa mempunyai dua aspek utama yaitu ‘sistemik’ dan ‘fungsional’. Santosa (2011) menyatakan bahwa secara sistemik bahasa mempunyai sistem yang secara hirarkis bekerja secara simultan dan sistemik dari sistem yang lebih rendah, fonologi/grafologi, menuju ke sistem yang lebih tinggi, leksikogramatika, semantik wacana dan struktur teks. Masing-masing level tidak dapat dipisahkan karena masing-masing level tersebut merupakan organisme yang mempunyai peran saling terkait dalam merealisasikan makna holistik suatu wacana. Kemudian Santosa (2011: 1) menambahkan bahwa secara fungsional, bahasa digunakan untuk mengekspresikan suatu tujuan atau fungsi proses sosial di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Setiap tataran bahasa mempunyai fungsi sendiri-sendiri untuk merealisasikan tujuan sosial tersebut.

Konteks kultural adalah suatu sistem nilai dan norma yang merepresentasikan suatu kepercayaan di dalam suatu kebudayaan. Sistem nilai ini mencakup apa-apa yang dianggap benar dan salah, baik dan buruk, termasuk di dalamnya ideologi yang mengatur keteraturan sosial yang berlaku umum di suatu kebudayaan. Sementara, norma merupakan realisasi sistem nilai yang mengatur proses sosial, yaitu apa yang harus dan tidak harus dikerjakan anggota masyarakat dalam kehidupan sosial (Santosa, 2011: 2)

Selanjutnya, Santosa (2011: 2) menyatakan bahwa konteks situasi merupakan lingkungan langsung yang berada di dalam penggunaan bahasa. Menurut Halliday & Hasan (1985: 62-63), Martin (1992: 495), Santosa (2011: 2) konteks situasi terdiri dari tiga aspek yaitu field (medan), tenor (pelibat), dan mode (sarana) yang  bekerja secara simultan membentuk suatu konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna. Konfigurasi ini akan menentukan ekspresi (bentuk) dan makna kebahasaan (register) yang digunakan untuk merealisasikan proses sosial. Selanjutnya,  Santosa (2011: 2) menjelaskan bahwa medan atau field merupakan suatu kejadian dengan lingkungannya, yang sering diekspresikan dengan apa yang terjadi, kapan terjadinya, di mana kejadiannya, dan bagaimana terjadinya. Pelibat atau tenor merupakan tipe partisipan yang berada atau terlibat di dalam kejadian  tersebut, status dan peran sosial yang dilakukan partisipan tersebut. Kemudian yang terakhir yaitu sarana (mode) meliputi dua aspek. Pertama, saluran (channel) merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan kejadian tersebut. Saluran ini juga meliputi apakah apakah gaya bahasa yang digunakan tersebut lisan atau tulis. Kemudian aspek yang kedua dari sarana adalah medium. Medium merupakan jenis saluran yang digunakan untuk menyalurkan proses sosial tersebut. Medium dapat berupa medium lisan atau tulis, medium audio, visual atau audio visual.

Halliday (1985: xiii) menyatakan bahwa terdapat tiga metafungsi bahasa baik lisan maupun tulis berkenaan dengan penggunaannya, yaitu makna ideasional (yang terdiri dari eksperiensial dan logikal), makna interpersonal, dan makna tekstual. Santosa (2011: 4) menjelaskan bahwa makna ideasional meliputi dua hal yaitu eksperiensial dan logikal. Di dalam  metafungsi, eksperiensial  mengekspresikan makna realitas pengalaman. Sementara itu, metafungsi logikal merealisasikan makna atau realitas logis yang menghubungkan antar pengalaman tersebut. Kemudian, metafungsi interpersonal mengekspresikan makna yang dibangun dari hubungan antar partisipan yang berada di dalam suatu bahasa yang sedang digunakan. Santosa menambahkan, makna interpersonal terdiri dari makna interaksional (interaksi personal) dan makna transaksional (interaksi antara informasi dan barang/ jasa). Pada akhirnya, makna tekstual merealisasikan kedua metafungsi yaitu ideasional dan interpersonal ke dalam simbol bahasa yang disebut dengan ekspresi tekstual. Dengan demikian, di dalam SFL, ke tiga metafungsi tersebut memiliki hubungan erat dalam suatu bahasa yang sedang melaksanakan fungsinya.

Subtitling

1  Definisi Subtitling
Istilah subtitling didefinisikan oleh Shuttlewort dan Cowie (dalam Spanakaki, 2007: 8) sebagai the process of providing synchronized captions for film or television dialogue. Kemudian, Baker (2001:247) mendefinisikan subtitling sebagai the transcription of film or TV dialogue presented simultaneously on the screen”. Sementara itu, Neves (dalam Purnomo dan Untari,2011: 2) mendefinisikan subtitling sebagai proses konversi suara ke teks dari siaran televisi, internet, film, video, CD-ROM, DVD, siaran langsung dan produksi lainnya yang ditampilkan di layar monitor. Meskipun definisi-definisi subtitling di atas tidak menyebutkan istilah ‘penerjemahan’, namun jika dikaitkan dengan dunia film, subtitling bisa dipahami sebagai suatu produk terjemahan karena subtitling merupakan terjemahan tertulis dari dialog-dialog di dalam film tersebut.

Pada akhirnya Szarkowska memiliki definisi yang sedikit berbeda mengenai subtitling. Ia menyebutkan bahwa:

subtitling is a translation of the spoken source language dialogue into the target language in the form of synchronized captions, usually at the bottom of the screen, in the form that alters the source text to the least possible extent and enables the target audience to experience the foreign and be aware of its ‘foreignness’ at all times.

(http://translationjournal.net/journal/32film.htm)

Dari definisi ini bisa disimpulkan bahwa subtitling bertujuan supaya penonton merasakan pengalaman cerita sementara mendapatkan pesan dalam bahasa sasaran secara bersamaan. Singkatnya, subtitling menerjemahkan pengucapan dalam bahasa sumber atau bahasa lisan ke bahasa tulis dalam bahasa sasaran.

Purnomo dan Untari (2011: 5) menambahkan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara istilah subtitling dan subtitle. Subtitling merujuk pada prosesnya sementara itu subtitle merujuk pada produknya (versi tulis dari dialog film yang biasanya ditampilkan di layar bagian bawah). Mereka menambahkan bahwasanya dalam subtitling, seseorang yang membuat subtitle disebut sebagai subtitler.
2  Jenis-jenis Subtitle

Gottlieb membedakan subtitle menjadi dua jenis yaitu:
a)      Intralinguistik

Merupakan bentuk subtitle yang sesuai dengan bahasa asli. Biasanya ditujukan untuk orang yang mempunyai gangguan pada pendengaran. Jenis subtitle ini dikatakan bersifat vertikal karena hanya menuangkan informasi lisan ke dalam bentuk teks tertulis, yaitu hanya berubah modenya dan bukan bahasanya.
b)      Interlinguistik

Jenis subtitle ini melibatkan dua bahasa, yaitu bahasa asli yang digunakan oleh aktor dan bahasa sasaran atau terjemahannya. Jenis subtitle ini bersifat diagonal sebab penerjemah subtitle harus mentransfer informasi lisan dari bahasa asing kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk teks bahasa sasaran sehingga terjadi perubahan bentuk mode dan bahasa.

Sementara itu jika dilihat dari segi teknisnya, O’Connell (2007:125-126) membagi subtitle menjadi:
c)      Closed subtitle

Jenis subtitle ini muncul dalam teletext yang bersifat optional artinya teks bisa dimunculkan atau tidak tergantung kebutuhan pemirsa. Jenis ini digunakan untuk memfasilitasi penyandang tunarungu atau sejenisnya untuk mendapatkan informasi. Teks ini biasanya dibuat menyesuaikan dengan kebutuhan khusus penyandang tuna rungu dan memasukkan informasi-informasi tambahan sehingga subtitle jenis ini cenderung lebih berupa ringkasan dengan beberapa penjelasan dibandingkan dengan subtitle biasa.
d)      Open Subtitle

Jenis subtilte ini sering dijumpai pada film-film atau program televisi. Dikatakan open (terbuka) karena pemirsa tidak bisa menghilangkan teks tersebut atau dengan kata lain, teks tersebut menyatu dengan film. Jenis ini digunakan untuk menerjemahkan bahasa dalam film asing yang ditayangkan dalam bioskop atau televisi dengan trek suara aslinya.
3.   Standarisasi Subtitle

Karamitloglou (1998) menuliskan beberapa aturan dalam standardisasi subtitle yang mengacu pada panduan subtitle untuk produksi subtitle program televisi di Eropa. Aturan-aturan tersebut diantaranya dijelaskan sebagai berikut.
a.       Posisi pada layar

Teks ditempatkan di bagian bawah layar sehingga tidak menutupi gambar. Baris terendah setidaknya seperdua belas dari total tinggi layar. Posisi teks di tengah bagian bawah.
b.      Segmentasi dan panjang baris

Penempatan baris seharusnya proporsional antara baris atas dan bawah dan diusahakan memiliki panjang yang sama karena pemirsa terbiasa membaca teks dengan bentuk segi empat daripada segitiga.
c.       Jumlah baris

Maksimal dua baris teks per tayang dengan menempati paling tidak dua per dua belas dari total tinggi layar. Jika hanya terdiri dari satu baris, hendaknya diletakkan di bagian bawah.
d.      Jumlah karakter per baris

Masing-masing baris tak lebih dari 35 karakter huruf dan tanda baca untuk meminimalisasi pengurangan pesan. Karakter yang sampai melebihi 40 karakter akan mempengaruhi legibility teks karena kemungkinan besar ukuran huruf diperkecil.
e.       Durasi

Kecepatan membaca rata-rata penonton (umur 14-65 dari kalangan sosial menengah dan berpendidikan baik) dengan kerumitan teks rata-rata antara 150-180 kata per menit sehingga perdetik sekitar dua atau tiga kata. Ini berarti teks dua baris terdiri dari 14-16 kata yang membutuhkan waktu setidaknya 5,5 detik. Sementara itu untuk teks satu baris rata-rata terdiri dari 7-8 kata dan membutuhkan sekitar 3,5 detik per tayang.
f.       Tanda baca

Tanda titik digunakan di setiap akhir ujaran karakter atau tokoh berbicara. Tanda tanya (?) dan seru (!) digunakan untuk menunjukkan pertanyaan dan perintah, seruan yang dikatakan oleh tokoh. Sementara itu tanda dash (-) digunakan sebelum masing-masing karakter berbicara. Biasanya ini digunakan untuk teks yang berbentuk dialog dan melibatkan lebih dari satu karakter. Selain tanda tersebut, tanda garis miring (/) juga bisa digunakan untuk tujuan yang sama.
g.      Bahasa lisan

Bahasa lisan idealnya diterjemahkan dengan gaya yang sama untuk mendapatkan efek yang sama namun penggabungan kalimat atau ujaran perlu dihindari karena bisa mengganggu pemirsa selama image reading.
h.      Kategori faktor-faktor linguistik yang bisa dihilangkan

1)      padding expression yaitu ekspresi yang hampir tidak memiliki muatan semantik dan kemunculannya bersifat fungsional untuk mempertahankan alur ujaran yang wajar. Ekspresi ini di antaranya adalah well, you know, as I say, dan sebagainya

2)      Tautological cumulative adjectives/adverbs, seperti great big, super extra, teeny weeny di mana bagian pertama memiliki peran penekanan dan bisa digabungkan menjadi satu kata yang sepadan menjadi huge, extremely dan tiny

3)      responsive expression, seperti yes, no, ok, please, thanks, thank you, sorry bisa dihilangkan dengan asumsi ungkapan-ungkapan tersebut telah dikenal luas oleh sebagian masyarakat dunia

Penilaian Kualitas Terjemahan

            Nababan (2003: 86) mengatakan bahwa penilaian terhadap mutu terjemahan terfokus pada tiga hal pokok, yaitu: (1)ketepatan pengalihan pesan, (2)ketepatan pengungkapan pesan dalam bahasa sasaran, dan (3)kealamiahan bahasa terjemahan. Nababan menambahkan, suatu terjemahan yang berkualitas mensyaratkan terpenuhinya tiga hal yang menjadi ukurannya meliputi keakuratan (accuracy), keberterimaan (acceptability), dan keterbacaan (readability). 
            1)      Keakuratan (accuracy)
Keakuratan merupakan suatu istilah yang digunakan dalam pengevaluasian terjemahan untuk merujuk pada apakah teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran sudah sepadan atau belum (Nababan, 2010). Konsep kesepadanan mengarah pada kesamaan isi atau pesan antar keduanya.  Dari pernyataan di atas bisa disimpulkan bahwa keakuratan suatu terjemahan berhubungan dengan ketepatan pengalihan pesan atau makna asli yang terkandung di dalam teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran. Machali (2000:110) menambahkah dari segi ketepatan pemadanan kata dapat dilihat dari aspek linguistik, semantik dan pragmatik. Keakuratan tidak hanya dilihat dari ketepatan pemilihan kata tetapi juga ketepatan gramatikal, kesepadanan makna dan pragmatik. 
2) Keberterimaan (acceptability)
Nababan (2010) mengatakan bahwa istilah keberterimaan merujuk pada apakah suatu terjemahan sudah diungkapkan sesuai kaidah-kaidah, norma dan budaya yang berlaku dalam bahasa sasaran ataukah belum, baik pada tataran mikro maupun pada tataran makro. Keberterimaan teks terjemahan berkaitan dengan kesesuaian gramatika bahasa sasaran dan sikap pembaca terhadap teks terjemahan. Kalau dalam keakuratan berfokus pada ketepatan penyampaian pesan, keberterimaan lebih terkait dengan kewajaran. Kewajaran berkaitan erat dengan norma budaya bahasa sasaran, sehingga sangat mungkin apabila teks terjemahan bahasa Indonesia bisa berterima di masyarakat Jawa tetapi tidak bisa diterima di masyarakat Papua. Terjemahan yang banyak menggunakan istilah-istilah atau kata-kata yang lazim dibaca atau didengar oleh pembaca atau pemirsa dengan mempertimbangkan unsur-unsur budaya yang ada di dalam teks bahasa sasaran akan menjadikan terjemahan tersebut berterima. 
3)      Keterbacaan (Readability)
Sakri (dalam Nababan,2010) menyatakan bahwa keterbacaan atau di dalam bahasa Inggris disebutkan readability, merujuk pada derajat kemudahan sebuah tulisan untuk dipahami maksudnya. Pembaca berperan sebagai subyek yang menilai apakah suatu tulisan masuk kategori mudah terbaca atau tidak. Tingkat keterbacaan suatu teks ditentukan oleh beberapa faktor seperti yang dikemukakan oleh Richard et al (dalam Nababan,2003) yang meliputi: (1)panjang rata-rata kalimat, (2)jumlah kata baru, dan (3)kompleksitas bahasa yang digunakan. Lebih jauh, Nababan (2003) menambahkan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi tingkat keterbacaan suatu produk terjemahan mencakup: (1)penggunaan kata/kalimat asing dan daerah, (2)penggunaan kata/kalimat ambigu, (3)penggunaan kalimat yang tidak lengkap, (4)panjang rata-rata kalimat, (5)penggunaan kalimat-kalimat kompleks, dan (6)alur pikiran yang tidak runtut dan tidak logis. Selain faktor yang bersifat kebahasaan di atas, faktor kemampuan membaca dan memahami, serta pengalaman pembaca sangat berpengaruh dalam menentukan keterbacaan suatu teks.

Teknik Penerjemahan

       Secara sederhana teknik penerjemahan adalah gambaran yang tampak pada hasil terjemahan, terutama pada unit terkecil teks (unsur mikro). Molina dan Albir (2002) membedakan strategi dan teknik penerjemahan bedasarkan produk dan proses. Strategi merupakan proses yang ada di pikiran penerjemah ketika melakukan penerjemahan, yaitu ketika penerjemah menghadapi suatu masalah dan berusaha memecahkannya. Sementara teknik penerjemahan merupakan hasil dari pilihan yang dibuat oleh penerjemah atau perwujudan strategi dalam mengatasi permasalahan pada tataran mikro yang dapat dilihat dengan membandingkan dengan hasil terjemahan dengan teks sumber. Molina dan Albir (2002) menyatakan bahwa teknik penerjemahan mempunyai lima karakteristik:
  • Berdampak pada terjemahan 
  • Diklasifikasikan oleh perbandingan dengan teks aslinya
  • Berdampak pada unit mikro dari teks
  • Bersifat diskursif dan kontekstual
  • Bersifat fungsional
Menurut Molina dan Albir  dalam Meta XLVII, 2002 menegaskan bahwa teknik penerjemahan meliputi:
      1)      Adaptasi (Adaptation)
Teknik ini bertujuan untuk mengganti unsur budaya pada bahasa sumber ke dalam budaya bahasa sasaran.
Contoh:
            Bsu:     as white as snow
            Bsa:     seputih kapas
     2)      Amplifikasi (Amplification)
Teknik penerjemahan yang mengungkapkan pesan secara eksplisit atau memparafrasa suatu informasi yang implisit dalam bahasa sumber.
Contoh:
Bsu:     Tayamum
Bsa:     bersuci dengan debu
     3)      Peminjaman (Borrowing)
Teknik menerjemahkan dimana penerjemah meminjam kata atau ungkapan dari bahasa sumber, baik sebagai peminjaman murni (pure borrowing) atau peminjaman yang sudah dinaturalisasikan (naturalized borrowing).
Contoh:
·         Peminjaman murni      Bsu:     blog
Bsa:     blog
·         Peminjaman alamiah   Bsu:     bus
Bsa:     bis
    4)      Kalke (Calque)
Teknik ini merujuk pada penerjemahan secara literal, baik kata maupun frasa dari bahasa sumber.
Contoh:
            Bsu:     directorate general
            Bsa:     direktorat jenderal
    5)      Kompensasi (Compensation)
Teknik penerjemahan dimana penerjemah memperkenalkan unsur-unsur pesan atau informasi atau pengaruh stilistika teks bahasa sumber ditempat lain dalam teks bahasa sasaran.
Contoh:
            Bsu:     a pair of scissors
            Bsa:     sebuah gunting
    6)      Deskripsi (Description)
Teknik ini diterapkan untuk menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi baik dalam bentuk maupun fungsinya.
Contoh:
Bsu:     yu sheng
Bsa:     hidangan khas orang China yang disajikan saat perayaan Imlek
    7)      Kreasi discursive (Discursive Creation)
Teknik ini dimaksudkan untuk menampilkan kesepadanan sementara yang tidak terduga atau keluar konteks. Teknik ini biasanya dipakai dalam menerjemahkan judul buku atau judul film.
Contoh:
Bsu:     Great Alexandre
Bsa:     Aleksander yang Agung
    8)      Pemadanan lazim (Established Equivalent)
Lebih cenderung untuk menggunakan  istilah atau ekspresi yang sudah dikenal (baik di dalam kamus atau penggunaan bahasa sehari-hari). Teknik ini mirip dengan penerjemahan secara harfiah.
Contoh:
Bsu:     New Zeland
Bsa:     Selandia Baru
    9)      Generalisasi (Generalization)
Teknik ini lebih cenderung menggunakan istilah yang lebih umum atau lebih netral.
Contoh:
Bsu:     flat
Bsa:     apartement  
    10)   Amplifikasi linguistik (Linguistic Amplification)
Teknik ini digunakan untuk menambah unsur-unsur linguistik dalam teks bahasa sasaran. Teknik ini biasanya dipakai dalam consecutive interpreting (pengalihbahasaan secara konsekutif) atau dubbing (sulih suara)
Contoh:
Bsu:     shall we?
Bsa:     bisakah kita pergi sekarang?
    11)  Kompresi linguistik (Linguistic Compression)
Merupakan teknik penerjemahan dengan cara mensintesa unsur-unsur linguistik dalam teks bahasa sasaran yang biasanya diterapkan penerjemah dalam pengalihbahasaan secara simultan (simultaneous interpreting) dan penerjemahan teks film (subtitling).
Contoh:
Bsu:     I want you to know...
Bsa:     ketahuilah
    12)  Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)
Merupakan teknik menerjemahkan sebuah kata atau ekspresi kata per kata tetapi susunan kata tersebut disesuaikan dengan tata bahasa Bsa.
Contoh:
Bsu:     Dr Augustine also wrote some books  
Bsa:     Dr Augustine juga menulis beberapa buku
    13)  Modulasi (Modulation)
Merupakan teknik penerjemahan dimana penerjemah mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan bahasa sumber.
Contoh:
Bsu:     I cut my finger
Bsa:     jariku teriris
    14)  Partikularisasi (Particularization)
Teknik ini lebih memfokuskan pada penggunaan istilah yang lebih konkrit atau persis.
Contoh:
Bsu:     air transportation
Bsa:     pesawat terbang
    15)  Reduksi (Reduction)
Teknik ini lebih memfokuskan pada pemadatan teks dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Ini juga bisa disebut sebagai kebalikan dari amplifikasi.
Contoh:
Bsu:     the Muslim month of fasting
Bsa:     Ramadhan
   16)  Subtitusi (Substitution)
Teknik ini adalah mengubah unsur-unsur linguistik ke parallinguistik (yang berhubungan dengan intonasi dan isyarat tubuh). Teknik ini biasanya dipakai dalam pengalibahasaan secara lisan.
Contoh:
Bsu:     he puts his hand on heart
Bsa:     dia mengucapkan terimakasih
   17)  Transposisi (Transposition)
Teknik ini adalah mengubah kategori gramatikal. Teknik ini sama dengan teknik pergeseran kategori, struktur dan unit.
Contoh:
Bsu:     trousers
Bsa:     celana panjang
   18)  Variasi (Variation)
Teknik ini adalah mengubah unsur-unsur linguistik dan paralinguistik yang mempengaruhi variasi linguistik, perubahan tona secara tekstual, gaya bahasa, dialek sosial dan juga dialek geografis. Biasanya teknik ini diterapkan dalam penerjemahan drama.
Contoh:
Bsu:     hi chick?
Bsa:     hai cewek?