Konsep sistemik fungsional linguistik pertama kali diperkenalkan oleh MAK
Halliday. Di dalam pandangan SFL, bahasa mempunyai dua aspek utama yaitu
‘sistemik’ dan ‘fungsional’. Santosa (2011) menyatakan bahwa secara sistemik
bahasa mempunyai sistem yang secara hirarkis bekerja secara simultan dan
sistemik dari sistem yang lebih rendah, fonologi/grafologi, menuju ke sistem
yang lebih tinggi, leksikogramatika, semantik wacana dan struktur teks.
Masing-masing level tidak dapat dipisahkan karena masing-masing level tersebut
merupakan organisme yang mempunyai peran saling terkait dalam merealisasikan
makna holistik suatu wacana. Kemudian Santosa (2011: 1) menambahkan bahwa secara
fungsional, bahasa digunakan untuk mengekspresikan suatu tujuan atau fungsi
proses sosial di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Setiap
tataran bahasa mempunyai fungsi sendiri-sendiri untuk merealisasikan tujuan
sosial tersebut.
Konteks
kultural adalah suatu sistem nilai dan norma yang merepresentasikan suatu
kepercayaan di dalam suatu kebudayaan. Sistem nilai ini mencakup apa-apa yang
dianggap benar dan salah, baik dan buruk, termasuk di dalamnya ideologi yang
mengatur keteraturan sosial yang berlaku umum di suatu kebudayaan. Sementara,
norma merupakan realisasi sistem nilai yang mengatur proses sosial, yaitu apa
yang harus dan tidak harus dikerjakan anggota masyarakat dalam kehidupan sosial
(Santosa, 2011: 2)
Selanjutnya, Santosa
(2011: 2) menyatakan bahwa konteks situasi merupakan lingkungan langsung yang
berada di dalam penggunaan bahasa. Menurut Halliday & Hasan (1985: 62-63),
Martin (1992: 495), Santosa (2011: 2) konteks situasi terdiri dari tiga aspek
yaitu field (medan), tenor (pelibat), dan mode (sarana) yang bekerja
secara simultan membentuk suatu konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna.
Konfigurasi ini akan menentukan ekspresi (bentuk) dan makna kebahasaan
(register) yang digunakan untuk merealisasikan proses sosial. Selanjutnya, Santosa (2011: 2) menjelaskan bahwa medan atau
field merupakan suatu kejadian dengan
lingkungannya, yang sering diekspresikan dengan apa yang terjadi, kapan
terjadinya, di mana kejadiannya, dan bagaimana terjadinya. Pelibat atau tenor merupakan tipe partisipan yang
berada atau terlibat di dalam kejadian tersebut,
status dan peran sosial yang dilakukan partisipan tersebut. Kemudian yang
terakhir yaitu sarana (mode) meliputi
dua aspek. Pertama, saluran (channel)
merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan kejadian tersebut. Saluran
ini juga meliputi apakah apakah gaya bahasa yang digunakan tersebut lisan atau
tulis. Kemudian aspek yang kedua dari sarana adalah medium. Medium merupakan
jenis saluran yang digunakan untuk menyalurkan proses sosial tersebut. Medium
dapat berupa medium lisan atau tulis, medium audio, visual atau audio visual.
Halliday (1985:
xiii) menyatakan bahwa terdapat tiga metafungsi bahasa baik
lisan maupun tulis berkenaan dengan penggunaannya, yaitu makna ideasional (yang
terdiri dari eksperiensial dan logikal), makna interpersonal, dan makna
tekstual. Santosa (2011: 4) menjelaskan bahwa makna ideasional meliputi dua hal
yaitu eksperiensial dan logikal. Di dalam
metafungsi, eksperiensial
mengekspresikan makna realitas pengalaman. Sementara itu, metafungsi
logikal merealisasikan makna atau realitas logis yang menghubungkan antar pengalaman
tersebut. Kemudian, metafungsi interpersonal mengekspresikan makna yang
dibangun dari hubungan antar partisipan yang berada di dalam suatu bahasa yang
sedang digunakan. Santosa menambahkan, makna interpersonal terdiri dari makna
interaksional (interaksi personal) dan makna transaksional (interaksi antara
informasi dan barang/ jasa). Pada akhirnya, makna tekstual merealisasikan kedua
metafungsi yaitu ideasional dan interpersonal ke dalam simbol bahasa yang
disebut dengan ekspresi tekstual. Dengan demikian, di dalam SFL, ke tiga
metafungsi tersebut memiliki hubungan erat dalam suatu bahasa yang sedang
melaksanakan fungsinya.